STORY

Rumah Kuno Nenek Matsuri
Oleh: Elisa Yuyun Sariana

“Jangan…..” nafasku tersengal-sengal, jidatku basah kuyup oleh keringat. Aku terbangun dari tidurku, bergegas aku ketok pintu kamar Mama. “Mimpi buruk lagi, ya.. makanya jangan berpikir yang aneh-aneh!” tukas Mama.
“Iya, Ma… sebelum tidur aku membayangkan rumah kuno Nenek.” Kataku lirih.
Liburan bulan lalu, kami mengunjungi Nenek di Takayama, Jepang. Kami berangkat dari Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya, menuju Bandara Chubu, Nagoya. Perjalanan dilanjutkan dengan kereta menuju ke ujung selatan Kota Kuno Takayama.
Malam sebelum hari keberangkatan liburanku ke Jepang bulan lalu, Aku dan sahabatku, Nayla mendata barang-barang yang akan dibawa untuk berlibur.
“Mama… kamus bahasa Jepangnya mana?”
“Itu, di lemari buku Mama!”
Mama tak menoleh sedikitpun. Ia sedang mengamat-amati  foto di tangannya.
“Siapa, Ma?” tanyaku lirih.
Kulihat foto perempuan paruh baya mengenakan pakaian putih. Sorot matanya tajam seolah menatapku. Mukanya pucat pasi. Ia memangku boneka gadis cilik berkepang.

“Besok kamu akan tahu sendiri.” Nada bicara Mama tiba-tiba berubah datar.
Aku masuk kamar menemui Nayla, semalaman kami memperbincangkan foto yang Mama bawa.
Hari sudah larut saat kami tiba di Takayama. Aku dan Nayla terpelongoh memandangi rumah di depan kami. Sangat luas dan semua terbuat dari kayu serba hitam. Lampu di sudut-sudut rumahnya bersinar remang-remang semburat merah. Boneka-boneka ditata berjajar di sepanjang teras. Di atas pintu juga ada boneka perempuan berambut panjang mengenakan pakaian kimono merah.
Melihat mata kami yang tidak berkedip, mama mendahului hendak masuk ke rumah itu. Dari bibir pintu kulihat perempuan persis seperti yang ada di foto sedang duduk bersimpuh. Mama menghampirinya lalu membungkuk padanya.
“Kemarilah, beri salam.” Pinta Mama.
Aku menundukkan kepala pada perempuan itu, tatapan matanya sangat dingin.
Aku berjalan ke arah lorong kecil. Di samping kanan-kiri ku lihat kamar-kamar kosong. Di setiap pintunya terpasang sebuah boneka perempuan. Di ujung lorong kami berbelok ke kiri menuruni tiga anak tangga. Di depanku terlihat pintu kayu hitam mengkilat. Aku tak berani membukanya. Mama mengetok pintu itu tiga kali lalu menggesernya ke kiri.
 “Ini dulu kamar Mama. Istirahatlah.” Mama mengusap lembut rambutku.
“Jadi?”
“Perempuan tadi?” bisikku.
“Nenek Sanno Matsuri.” Jawab Mama.
“Boneka itu ada di sudut ruang.” Bisik Mama.
Mataku terpaku mendengarnya. Mama sudah menjawab sebelum aku ajukan pertanyaanku.
“Buruan tidur. Bangunlah setelah bunyi lonceng.” Belum sempat aku mengangguk, Mama beranjak keluar.
Tiba-tiba ruangan menjadi gelap gulita seiring bunyi “Glek” saat pintu menutup. Lantas aku dan Nayla mengerudungi sekujur tubuh dengan selimut.
“Kamu ingat dongeng Putri Andromeda? Nenek itu mirip sekali dengan ibu Sang Putri.” Bisik Nayla.
“Iya… Putri yang malang gara-gara keangkuhan Ratu Kassiopia.”
“Krek….” Sontak kami saling menatap. Perlahan kami memelorotkan selimut sedikit di bawah mata lalu melirik ke arah bunyi itu. Pintu setengah terbuka. Kami lihat nenek berdiri memegangi daun pintu, menyeringai sambil menganguk-angguk lalu beranjak pergi.
Aku dan Nayla beradu mata. “Kamu melihat keganjilan?” bisikku. Nayla mengangguk. Kami akhirnya memberanikan diri mengendap-endap keluar kamar. Lorong kecil di depan kami benar-benar gelap, “Hati-hati, ada banyak guci.” “Aduh…. “ Nayla menginjak boneka di dekat kaki meja. Kudengar bertubi-tubi kata maaf Nayla kepada boneka itu, sedangkan aku bergegas menuju ujung lorong. Sepertinya di sana ada suara sesenggukan.
Aku mengintip dari sela-sela kayu. Mulut Nenek komat-kamit. Mama mengusap-usap pipinya, matanya sembab. Sebentar kemudian Nenek Matsuri mengalungkan kain putih pada leher Mama.
“Jangan-jangan….” Nayla menepuk-nepuk pundakku.
“Bukankah Mamamu bernama Andaro Mellida? Bisa jadi itu dari nama Andromeda. Jangan-jangan cerita itu bukan coma dongeng…..” lanjutnya, “Jangan-jangan…. Selendang putih itu pertanda….” Dag…dig…dug…. Kami berdua terbirit-birit menuju kamar. Kami bersembunyi di balik selimut, tapi mata kami tak berkedip mengawasi pintu.
Sekelebat bayangan lewat di depan pintu. Kami saling perpegangan. Tiba-tiba… Greeeekkk…. Pintu terbuka lebar. Spontan kami menjerit.
Ku lihat bayangan api di bibir pintu….
Mama menghampiriku lalu memelukku erat. Nenek menyusul dari belakang Mama, lalu mengalungkan selendang putih di leherku, persis seperti yang ada di leher Mama.
Aku hanya berdiri kaku, mataku mengawasi bayangan api yang makin mendekat. 
Paman dan Bibi Ozuki menyanyikan lagu “Happy Birth Day” dengan membawa kue tart dengan 10 lilin menyala diatasnya.
Aku baru menyadari kalau hari itu aku berulang tahun.
“Huff.... betapa bodohnya aku.... selama ini prasangka buruk membuatku tidak bisa menikmati suasana liburan.” Bisikku dalam hati.

Nenek Matsuri seorang yang hangat. Hanya saja setelah mengalami kecelakaan sepanjang pipi kirinya terdapat bekas jahitan dan pita suaranya harus dioperasi, membuatnya tidak bisa bicara lagi. “Nek, aku telah selesai merajut boneka berponi. Terima kasih memberiku kesempatan seperti cucu-cucu nenek untuk memasangkan boneka pada daun pintu rumah Nenek. Terima kasih juga untuk hadiah selendang putih dari Nenek.” Nenek mengangguk. Mulai kini tak akan ku biarkan prasangka buruk menguasaiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar